Friday, January 13, 2012

Makalah "PERBANDINGAN KEBEBASAN PERS DI MASA ORDE BARU DAN REFORMASI “





MAKALAH PKN
perbandingan Kebebasan pada masa orde baru dan reformasi
 
KELOMPOK II
1.       Haerul Juandita
2.       Hudaini Handayani
3.       Izzal Faturrahmi Audina
4.       Lina Rahmatika Pratiwi
5.       Liza Zahro’il Minani
6.       Muhammad Syamsussabri
7.       Muhammad Safruddin
8.       Najwa Herfany

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Kami memanjatkan puji serta syukur terhadap kehadiran Tuhan yang Maha Esa, Allah swt. karena dengan rahmat dan karunia dari-Nyalah kami dapat menyelesaikan malakah ini sebagaimana mestinya.
Kami menyadari bahwa  makalah ini tidak akan terselesaikan dengan baik tanpa bimbingan, arahan, dan bantuan yang diberikan kepada kami dari beberapa pihak dan sumber. Untuk itu kami  menghaturkan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Guru Pembimbing Mata pelajaran Pkn kami yakni L. Purnaman Wirawan . Dan kepada pihak – pihak yang telah merelakan waktunya dalam membantu penyusunan makalah ini.
Kami menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat dalam makalah  ini. Oleh karena itu, kami mengharapkan masukkan saran dan kritik dari para pembaca yang sifatnya membangun untuk menyempurnakan penyusunan makalah yang selanjutnya. Namun, kami juga berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

                                                                                           Mataram, Januari  2012

            Kelompok II                           


DAFTAR ISI

Halaman Judul
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I   Pendahuluan
1.1.Latar Belakang
1.2.Rumusan Masalah
BAB II Pembahasan
BAB III             Penutup
3.1. Kesimpulan
Daftar pustaka


BAB I             Pendahuluan

1.1.   Latar Belakang
Sejak merdeka tahun 1945, Indonesia sudah beberapa kali mengalami pergantian sistem pemerintahan. Tahun 1945 sampai 1965 dikenal dengan nama sistem pemerintahan orde lama, yang mana merupakan era presiden Soekarno. Setelah presiden Soekarno tumbang, tampuk kekuasaan diserahkan kepada jenderal Soeharto yang akhirnya melahirkan sistem pemerintahan orde baru. Orde baru berlangsung dari tahun 1966 sampai tahun 1998. Dikarenakan sudah terlalu lama menjabat dan merajalelanya KKN, presiden Soeharto digulingkan oleh rakyat Indonesia yang akhirnya melahirkan zaman baru bagi Indonesia, reformasi. Reformasi berlangsung dari tahun 1998 sampai sekarang.
Tidak ada yang menyangkal bahwa setiap periode pemerintahan memiliki ciri khasnya masing masing. Orde baru dikenal dengan ke-otoriteran rezim presiden Soeharto sedangakan masa reformasi dianggap sebagai masa berjayanya demokrasi. Kedua masa tersebut, orde baru dan reformasi merupakan dua masa pemerintahan yang cukup berbeda. Masa orde baru merupakan masa dimana segala sesuatunya harus sesuai dengan kehendak penguasa, bukan kehendak rakyat. Rakyat dipaksa untuk bungkam dan mengikuti aturan yang telah ditetapkan pemerintah tanpa dapat melakukan kritik untuk kebijakan yang lebih baik. Pada masa orde baru Indonesia memang mengalami pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, namun tidak merata. Hutang Indonesia tak terhitung banyaknya. Ditambah maraknya korupsi di tubuh pemerintahan. Siapapun yang menentang pemerintah, nyawanya akan terancam. Sanksi kriminal dilaksanakan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat “dibuang” ke Pulau Buru. Tidak ada yang mampu meruntuhkan kebobrokan sistem tersebut sampai akhirnya rakyat benar – benar telah kehilangan kesabaran pada tahun 1998.
Sedangkan masa reformasi sering digaung – gaungkan sebagai masa demokrasi. Yang artinya kebebasan hampir disegala aspek kehidupan, termasuk dalam hal kepolitikan. Pada masa orde baru, pemenang pemilu sudah bisa dipastikan, namun pada masa reformasi benar benar merupakan persaingan terbuka. Dalam hal pengambilan kebijakan, rakyat dapat menyalurkan aspirasinya secara bebas melalui wakil wakil rakyat maupun media. Walaupun pada kenyataannya saat ini aspirasi rakyat cenderung tidak didengar, tetapi setidaknya tidak ada yang membungkam rakyat seperti pada masa orde baru.
Berdasarkan uraian diatas, sudah dapat dipastikan nasib jurnalisme Indonesia pada masa orde baru dan reformasi itu berbeda. Nasib pers sangat bergantung dari kebijakan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.



1.2.   Rumusan Masalah                 
1.       Bagaimana kebebasan pada masa orde baru?
2.       Bagaimana kebebasan pers pada masa reformasi?
3.       Perbandingan yang tampak di antara kebebasan pers pada masa orde baru dengan kebebasan pers pada masa reformasi?
4.       Apa sebaiknya yang di aplikasikan oleh pers bagi pengonsumsi dari informasi, isu, kasus yang di sebarkan


BAB II  Pembahasan
1. Pers Masa Orde Baru
Tidak bisa dipungkiri bahwa pers memiliki peran yang sangat penting di suatu negara. Tanpa pers, tidak ada informasi yang bisa tersalurkan baik dari rakyat ke pemerintahnya maupun sebaliknya. Singkat kata, pers memiliki posisi tawar yang tidak bisa diremehkan. Konsepsi Riswandha (1998 : 101) mengatakan bahwa ada empat pilar pemelihara persatuan bangsa, salah satunya adalah kaum intelektual atau pers. Pers berfungsi sebagai pemikir dan penguji konsep-konsep yang diterapkan pada setiap kebijakan.
Pada masa orde baru, pers bisa dikatakan tidak ada fungsinya untuk warga negara. Pers sangat terlihat hanya sebagai boneka penguasa. Tidak ada kebebasan berpendapat yang dijanjikan pemerintah pada awal awal kekuasaan orde baru. Keberadaan pers diawasi secara ketat oleh pemerintah di bawah naungan departemen penerangan. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi hal – hal buruk di dalam pemerintahan orde baru sampai di telinga masyarakat. Pers tidak bisa melakukan apapun selain patuh pada aturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Aspirasi masyarakat untuk pemerintah tidak tersalurkan sama sekali. Hal ini dikarenakan komunikasi politik yang terjadi hanya top – down. Artinya pers hanya sebagai komunikator dari pemerintah ke rakyat. Pers tidak dapat melakukan fungsinya sebagai komunikator dari rakyat ke pemerintah. Selain itu, pemberitaan yang disalurkan ke masyarakat mengenai pemerintah harus merupakan berita – berita yang menjunjung tinggi keberhasilan pemerintah. Yang diberitakan hanyalah sesuatu yang baik. Apabila suatu media nekat menerbitkan pemberitaan – pemberitaan miring soal pemerintah, bisa di pastikan nasib media tersebut berada di ujung tanduk.
Berdasarkan teori politik yang dipaparkan diatas, jelas bahwa pers pada masa orde baru sangat dikendalikan oleh pemerintah. Kontrol pemerintah terhadap pers tidak dapat diragukan lagi, begitu juga dengan pengaruhnya. Kebijakan – kebijakan yang dikeluarkan pemerintah orde baru sangat tidak mendukung keberadaan pers. Salah satu contohnya adalah kebijakan SIUPP, yakni Surat Izin untuk Penerbitan Pers, yang mana sangat tidak pro-pers. Pers mengalami kesulitan saat dituntut untuk melasanakan fungsi – fungsi yang secara alamiah melekat padanya, khususnya fungsi mereka bagi masyarakat. Fungsi pers bagi masyarakat adalah menampilkan informasi yang berdimensi politik lebih banyak dibandingkan dengan ekonomi, dengan didominasi subyek negara serta kecenderungan pers untuk lebih berat ke sisi negara harus dilakukan dengan cara lebih memilih realitas psikologis dibanding dengan realitas sosiologis. Tidak hanya itu, 9 elemen dasar Bill Kovach mengenai jurnalisme yang seharusnya diamalkan oleh pers tidak terlaksana. 9 elemen dasar tersebut adalah :
  1. Kewajiban utama jurnalisme adalah pada pencarian kebenaran
  2. Loyalitas utama jurnalisme adalah pada warga negara
  3. Esensi utama jurnalisme adalah disiplin verifikasi
  4. Jurnalis harus menjaga indepedensi dari objek liputannya
  5. Jurnalis harus membuat dirinya sebagai pemantau independen dari kekuasaan
  6. Jurnalis harus memberi forum bagi publik untuk saling kritik dan menemukan kompromi
  7. Jurnalis harus berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan
  8. Jurnalis harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional
  9. Jurnalis harus diperbolehkan mendengarkan hati nurani personelnya
Jika sudah begitu, bisa dikatakan pers telah kehilangan jati dirinya. Contoh kediktatoran pemerintah terhadap pers adalah peristiwa 21 Juni 1994. Saat itu beberapa media massa seperti Tempo, deTIK, dan editor dicabut surat izin penerbitannya atau dengan kata lain dibredel setelah mereka mengeluarkan laporan investigasi tentang berbagai penyelewengan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat Negara. Akan tetapi, meskipun pemerintah telah membungkam media sedemikian rupa, tetapi saja ada media yang pantang menyerah melakukan perlawanan pada pemerintah. Salah satunya adalah Tempo. Pemerintah orde baru selalu merasa terancam dengan keberadaan Tempo. Hal tersebut wajar karena sikap pantang menyerah yang ditanamkan media tersebut kepada wartawan – wartawannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa Tempo menjadi media terpenting pada masa orde baru.
Sesungguhnya pada masa orde baru terdapat lembaga yang menaungi pers di Indonesia, yaitu Dewan Pers. Sesuai UU Pers Nomor 40 tahun 1999, dewan pers adalah lembaga independen yang dibentuk sebagai bagian dari upaya untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional. Berdasarkan amanat UU, dewan pers meiliki 7 fungsi :
  1. Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain, bisa pemerintah dan juga masyarakat
  2. Melakukan pengkajian untuk pengembangan keidupan pers
  3. Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik
  4. Memberikan pertimbangan dan pengupayaan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers
  5. Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah.
  6. Memfasilitasi organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi wartawan
  7. Mendata persahaan pers
Namun sangat disayangkan bahwa dewan pers masa orde baru tidak melaksanakan fungsinya dengan efektif. Ironisnya, dewan pers justru tidak melindungi rekan sesama jurnalis. Hal tersebut terlihat saat peristiwa pembredelan media tahun 1994. Banyak anggota dewan pers yang tidak meyetujui pemberedelan tersebut, namun dewan pers dipaksa menyetujui langkah pemerintah tersebut. Tidak ada yang bisa dilakukan dewan pers selain mematuhi instruksi pemerintah. Menolak sama artinya dengan melawan pemerintah. Bisa disimpulkan keberadaan dewan pers masa orde baru hanya sebatas formalitas.
2.      Pers Masa Reformasi
Bagaimana dengan kebebasan pers pada masa reformasi? Tidak bisa dipungkiri bahwa pers pada masa orde baru sangat berbeda dengan pers pada masa reformasi. Tidak ada kebebasan pers pada masa orde baru. Namun, saat orde baru tumbang, pers seperti kehilangan kendali. Arus kebebasan dibuka lebar – lebar secara spontan. Gelombang kebebasan pers tercipta secara besar besaran, bukan perlahan dengan proses yang seharusnya.
Suatu kebijakan yang monumental karena dianggap sebagai tonggak dimulainya kebebesan pers di Indonesia yakni dikeluarkannya Permenpen No. 01/per/Menpen/1998, tentang Kententuan – Ketentuan SIUPP. Pada Permenpen ini, sanksi pencabutan SIUPP maupun pembreidelan bagi  pers ditiadakan. Ada lima peraturan, baik berupa Peraturan Menteri maupun Surat Keputusan Menteri, yang keseluruhannya menghambat ruang gerak pers, dicabut. Puncaknya adalah dikeluarkannya Undang- Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Terdapat pasal di dalam undang-undang ini yang menyatakan pencabutan semua undang- undang pers yang ada sebelumnya. Sejak saat itu, tidak ada lagi kebijakan pemerintah yang memberatkan pers. Akibatnya, permintaan untuk izin penerbitan meningkat.
Pers masa reformasi selalu dihubungkan dengan demokrasi. Yang mana demokrasi berarti kebebasan untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat. Salah satu indikator demokrasi adalah terciptanya jurnalisme yang independen. Walaupun pada kenyataannya saat ini, terkadang pers masih dimanfaatkan oleh pemerintah untuk melanggengkan kekuasaan. Pers masa reformasi bebas menuliskan apapun kritik mereka terhadap pemerintah. Tidak ada pembungkaman, apalagi pembredelan. Jika pemerintah tersinggung dengan apa yang disampaikan oleh pers, jalan untuk melawannya bukan dengan memberedel pers, tetapi dengan memanfaatkan pers itu sendiri sebagai alat komunikasi yang efektif antara masyarakat dan pemerintah. Dengan kata lain, pers masa reformasi menempatkan dirinya sebagai perantara rakyat dan pemerintah supaya tidak terjadi perbedaan persepsi.
Pers masa reformasi sedikit banyak telah menemukan jati dirinya. Pers menjadi lemabga yang independen. Pada masa reformasi, komunikasi politik yang terjadsi antara masyarakat dan pemerintah tidak hanya komunikasi top – down, melainkan juga bottom – up. Pers menjadi sarana masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya, baik berupa tuntutan maupun dukungan. Pers juga menjadi sarana pemerintah mensosialisasikan kebijakan – kebijakan yang telah diambilnya. Pers menjadi wadah pemerintah untuk mengetahui apakah kebijakan – kebijakan yang akan diambil disetujui rakyat atau tidak. Apabila suatu kebijakan telah diambil dan dilaksanakan, pers dapat mengambil perannya sebagai pengontrol kebijakan. Intinya, pers masa reformasi senantiasa melaksanakan fungsinya pada setiap proses sistem politik. Pada masa ini, 9 elemen dasar serta fungsi – fungsi pers cukup terlaksana.
Namun, kebebasan pers yang tercipta pada masa reformasi bukan berarti tidak menimbulkan masalah apapun. Kebebasan pers masa reformasi terkadang terlewat batas. Terdapat ketidakseimbangan antara keinginan masyarakat dengan kepentingan pers. Pers cenderung menampilkan sesuatu yang berbau komersil dan hanya memikirkan keuntungan perusahaan. Berita yang disajikan terkadang tidak objektif. Tidak hanya itu, pers juga terkadang melanggar kode etik nya sendiri. Norma dan nilai yang ada di masyarakat diabaikan. Dalam pencarian berita pun pers sering meniadakan kesopan santunan. Pers tidak lagi menghargai privatisasi sumber berita. Sebagai contoh, pers seharusnya fokus hanya pada masalah – masalah yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat, seperti kebijakan pemerintah, akan tetapi pers menambahkannya dengan urusan pribadi sumber berita. Hal itu sangat melanggar norma.
Kekhawatiran masyarakat terhadap kebebasan pers, sempat muncul dalam aksi perlawanan dalam bentuk kekerasan fisik. Hal ini antara lain ditandai dengan penyerangan harian Jawa Pos di Surabaya oleh Banser pendukung Abdurrahman Wahid (alam Emilianus, 2005: 128).
Intinya, pers menjadi lupa bahwa kebebasan pun masih harus ada batasnya. Di masa reformasi pers lebih menampilkan diri sebagai pihak yang dekat dengan kekuasaan dan modal. Dan hal ini harus diantisipasi oleh masyarakat sebagai pengawas atas perilaku pers di Indonesia.

3.      Perbandingan masa reformasi dan masa orde baru

Kategori
Pada Masa Orde Baru
Pada Masa Reformasi
Berlakunya
Sejak 1965 - 1998
Sejak tahun 1998 – sekarang
Sifat kebebasan pers
Lebih di kekang dalam menjalankan fungsi pers oleh pemerintah. Karenanya, tidak mengherankan bila kebebasan pers saat itu lebih tampak sebagai wujud kebebasan (bebasnya) pemerintah, dibanding bebasnya pengelola media dan konsumen pers, untuk menentukan corak dan arah isi pers

Bebas dengan diberikan ruang gerak dalam menjalankan fungsi pers.

Kelemahan
1.       kebebasan pers pada masa pemerintahan Presiden Soekarno dan masa pemerintahan Presiden Soeharto sangat dibatasi oleh kepentingan pemerintah. Pers dipaksa untuk memuat setiap berita harus tidak boleh bertentangan dengan pemerintah, kebeasan pers saat itu lebih terbatas untuk memperkuat status quo, ketimbang guna membangun keseimbangan antarfungsi eksekutif, legislatif, yudikatif, dan kontrol publik (termasuk pers).
2.       Pada rezim ini, maka berkembanglah pers yang otoriter.
contohnya : pada saat erjadinya pembredelan Tempo, Detik, Editor pada 21 Juni 1994, mengisyaratkan ketidakmampuan sistem hukum pers mengembangkan konsep pers yang bebas dan bertanggung jawab secara hukum.
3.       Pada masa ini, membatasi pers dalam mengepresikan kesan mereka mengenai sistem pemerintahan yang di jalankan pemerintah karena  adanya SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) sesuai dengan Permenpen 01/1984 Pasal 33h. Dengan definisi ”pers yang bebas dan bertanggung jawab”, SIUPP merupakan lembaga yang menerbitkan pers dan pembredelan.

1.       berkembangnya kebebasan pers juga membawa pengaruh pada masuknya liberalisasi ekonomi dan budaya ke dunia media massa, yang sering kali mengabaikan unsur pendidikan. Arus liberalisasi yang menerpa pers, menyebabkan Liberalisasi ekonomi juga makin mengesankan bahwa semua acara atau pemuatan rubrik di media massa sangat kental dengan upaya komersialisasi. Sosok idealisme nyaris tidak tercermin dalam tampilan media massa saat ini. Sebagai dampak dari komersialisasi yang berlebihan dalam media massa saat ini, eksploitasi terhadap semua hal yang mampu membangkitkan minat orang untuk menonton atau membaca pun menjadi sajian sehari-hari.
2.       Dengan tidak adanya keterbatasan ruang gerak bagi pers dalam menyebarkan atau mempublikasikan suatu informasi, isu, kasus dan sebagainya. Perspun memiliki kewenangan tersendiri yang bebas dalam mempublikasikan infoormasi, kasus, isu dan sebagainya kepada para khalayak dan kebanyakan pers tersebut tidak bertanggung jawab.
3.       Biasanya dalam membuat informasi tak jarang  melecehkan masalah agama, ras, suku, dan kebudayaan lain, seharusnya hal ini berkembang sesuai dengan apa yang diyakini.
Kelebihan
1.       Pada masa orde baru, dengan adanya keterbatasan ruang gerak bagi pers maka akan adanya tanggung jawab bagi pers media tersebut dalam menyebar luaskan
2.       Pers tidak bisa sembarangan dalam menyebar luaskan informasi karena adanya batasan dari pemerintah, maka dengan itu pers jarang akan menyinggung tentang SARA.
1.       Pers pun bisa mengekspresikan kesan mengenai sistem pemerintahan yang ada dijalankan.
2.       Penyebaran informasi, isu, kaus oleh pers bisa di lakukan secara bebas. Tanpa ada kekangan *seperi masa orde baru*.
3.       Dengan adanya perguliran masa orde baru menjadi era reformadi, terjadilah perubahan – perubahan dengan di tandai munculnya media-media baru cetak dan elektronik dengan berbagai kemasan dan segmen. Keberanian pers dalam mengkritik penguasa juga menjadi ciri baru pers Indonesia.

4.       Sebaiknya yang di aplikasikan oleh pers bagi pengonsumsi dari informasi, isu, kasus yang di sebarkan
Sungguh ironi, dalam sistem politik yang relatif terbuka saat ini, pers Indonesia cenderung memperlihatkan performa dan sikap yang dilematis. Di satu sisi, kebebasan yang diperoleh seiring tumbangnya rezim Orde Baru membuat media massa Indonesia leluasa mengembangkan isi pemberitaan. Namun, di sisi lain, kebebasan tersebut juga sering kali tereksploitasi oleh sebagian industri media untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan mengabaikan fungsinya sebagai instrumen pendidik masyarakat. Bukan hanya sekedar celah antara rakyat dengan pemimpin, tetapi pers diharapkan dapat memberikan pendidikan untuk masyarakat agar dapat membentuk karakter bangsa yang bermoral. Kebebasan pers dikeluhkan, digugat dan dikecam banyak pihak karena berubah menjadi ”kebablasan pers”. Hal itu jelas sekali terlihat pada media-media yang menyajikan berita politik dan hiburan (seks). Media-media tersebut cenderung mengumbar berita provokatif, sensasional, ataupun terjebak mengumbar kecabulan.
Kebebasan pers sekarang yang dipimpin presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, negara dan bangsa kita membutuhkan kebebasan pers yang bertanggung jawab (free and responsible press). Sebuah perpaduan ideal antara kebebasan pers dan kesadaran pengelola media massa (insan pers), khususnya untuk tidak berbuat semena-mena dengan kemampuan, kekuatan serta kekuasaan media massa (the power of the press). Di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, kebebasan pers Indonesia idealnya dibangun di atas landasan kebersamaan kepentingan pengelola media, dan kepentingan target pelayanannya, tidak peduli apakah mereka itu mewakili kepentingan negara (pemerintah), atau kepentingan rakyat.
Dalam kerangka kebersamaan kepentingan dimaksud, diharap aktualisasi kebebasan pers nasional kita, tidak hanya akan memenuhi kepentingan sepihak, baik kepentingan pengelola (sumber), maupun teratas pada pemenuhan kepentingan sasaran (publik media).
Pers harus tanggap terhadap situasi publik, karena ketidakberdayaan publik untuk mengapresiasikan pendapatnya kepada pemimpin pers harus berperan sebagai fasilitator untuk dapat mengapresiasikan apa yang diinginkan publik terhadap pemimpinnya dapat terwujud.
Ada hal lain yang harus diperhatikan oleh pers, yaitu dalam membuat informasi jangan melecehkan masalah agama, ras, suku, dan kebudayaan lain, biarlah hal ini berkembang sesuai dengan apa yang mereka yakini.


BAB III  Penutup
3.1.  Kesimpulan
                Berdasarkan pembahasan yang telah dijelaskan, dapat disimpulkan bahwa kebebasan pers pada masa orde baru sangat berbeda dengan kebebasan pers pada masa reformasi. Pada masa orde baru pergerakan pers sangat dibatasi dan hanya sebagai boneka pemerintah untuk melanggengkan kepentingannya. Sedangakan pada masa reformasi, kebebasan pers sangat terjamin. Ruang gerak pers menjadi sangat luas. Pers dapat melakukan fungsi top – down dan bottom – up, walaupun terkadang masih dimanfaatkan sebagai alat penguasa serta pemilik modal. Kebebasan pers masa reformasi juga bukan berarti tanpa masalah, banyak masalah yang timbul akibat dari kebebasan pers itu sendiri.


Daftar Pustaka
http://kampekique.wordpress.com/2011/08/11/perbandingan-kebebasan-pers-pada-masa-orde-baru-dan-masa-reformasi-di-indonesia/#comment-3
http://ivantoebi.wordpress.com/2008/12/19/pers-era-reformasi/















0 comments:

Post a Comment