MAKALAH PKN
perbandingan Kebebasan pada masa orde baru dan reformasi
KELOMPOK II
1.
Haerul Juandita
2.
Hudaini Handayani
3.
Izzal Faturrahmi
Audina
4.
Lina Rahmatika
Pratiwi
5.
Liza Zahro’il Minani
6.
Muhammad Syamsussabri
7.
Muhammad Safruddin
8.
Najwa Herfany
|
KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Wr. Wb.
Kami
memanjatkan puji serta syukur terhadap kehadiran Tuhan yang Maha Esa, Allah
swt. karena dengan rahmat dan karunia dari-Nyalah kami dapat menyelesaikan
malakah ini sebagaimana mestinya.
Kami menyadari bahwa makalah ini tidak akan terselesaikan dengan
baik tanpa bimbingan, arahan, dan bantuan yang diberikan kepada kami dari
beberapa pihak dan sumber. Untuk itu kami
menghaturkan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Guru Pembimbing
Mata pelajaran Pkn kami yakni L. Purnaman Wirawan . Dan kepada pihak – pihak
yang telah merelakan waktunya dalam membantu penyusunan makalah ini.
Kami
menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami mengharapkan
masukkan saran dan kritik dari para pembaca yang sifatnya membangun untuk
menyempurnakan penyusunan makalah yang selanjutnya. Namun, kami juga berharap
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Mataram,
Januari 2012
Kelompok II
DAFTAR ISI
Halaman
Judul
Kata
Pengantar
Daftar
Isi
BAB
I Pendahuluan
1.1.Latar Belakang
1.2.Rumusan Masalah
BAB
II Pembahasan
BAB
III Penutup
3.1. Kesimpulan
Daftar
pustaka
BAB I Pendahuluan
1.1.
Latar Belakang
Sejak merdeka tahun 1945, Indonesia sudah beberapa kali mengalami
pergantian sistem pemerintahan. Tahun 1945 sampai 1965 dikenal dengan nama
sistem pemerintahan orde lama, yang mana merupakan era presiden Soekarno.
Setelah presiden Soekarno tumbang, tampuk kekuasaan diserahkan kepada jenderal
Soeharto yang akhirnya melahirkan sistem pemerintahan orde baru. Orde baru
berlangsung dari tahun 1966 sampai tahun 1998. Dikarenakan sudah terlalu lama
menjabat dan merajalelanya KKN, presiden Soeharto digulingkan oleh rakyat
Indonesia yang akhirnya melahirkan zaman baru bagi Indonesia, reformasi.
Reformasi berlangsung dari tahun 1998 sampai sekarang.
Tidak ada yang menyangkal bahwa setiap periode pemerintahan memiliki
ciri khasnya masing masing. Orde baru dikenal dengan ke-otoriteran rezim
presiden Soeharto sedangakan masa reformasi dianggap sebagai masa berjayanya
demokrasi. Kedua masa tersebut, orde baru dan reformasi merupakan dua masa
pemerintahan yang cukup berbeda. Masa orde baru merupakan masa dimana segala
sesuatunya harus sesuai dengan kehendak penguasa, bukan kehendak rakyat. Rakyat
dipaksa untuk bungkam dan mengikuti aturan yang telah ditetapkan pemerintah
tanpa dapat melakukan kritik untuk kebijakan yang lebih baik. Pada masa orde
baru Indonesia memang mengalami pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, namun
tidak merata. Hutang Indonesia tak terhitung banyaknya. Ditambah maraknya
korupsi di tubuh pemerintahan. Siapapun yang menentang pemerintah, nyawanya akan
terancam. Sanksi kriminal dilaksanakan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar
Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak.
Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat “dibuang” ke Pulau
Buru. Tidak ada yang mampu meruntuhkan kebobrokan sistem tersebut sampai
akhirnya rakyat benar – benar telah kehilangan kesabaran pada tahun 1998.
Sedangkan masa reformasi sering digaung – gaungkan sebagai masa
demokrasi. Yang artinya kebebasan hampir disegala aspek kehidupan, termasuk
dalam hal kepolitikan. Pada masa orde baru, pemenang pemilu sudah bisa
dipastikan, namun pada masa reformasi benar benar merupakan persaingan terbuka.
Dalam hal pengambilan kebijakan, rakyat dapat menyalurkan aspirasinya secara
bebas melalui wakil wakil rakyat maupun media. Walaupun pada kenyataannya saat
ini aspirasi rakyat cenderung tidak didengar, tetapi setidaknya tidak ada yang
membungkam rakyat seperti pada masa orde baru.
Berdasarkan uraian diatas, sudah dapat dipastikan nasib jurnalisme
Indonesia pada masa orde baru dan reformasi itu berbeda. Nasib pers sangat
bergantung dari kebijakan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.
1.2.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana kebebasan pada masa orde
baru?
2.
Bagaimana kebebasan pers pada masa
reformasi?
3.
Perbandingan yang tampak di antara
kebebasan pers pada masa orde baru dengan kebebasan pers pada masa reformasi?
4.
Apa sebaiknya yang di aplikasikan oleh
pers bagi pengonsumsi dari informasi, isu, kasus yang di sebarkan
BAB II Pembahasan
1. Pers Masa Orde Baru
Tidak bisa
dipungkiri bahwa pers memiliki peran yang sangat penting di suatu negara. Tanpa
pers, tidak ada informasi yang bisa tersalurkan baik dari rakyat ke
pemerintahnya maupun sebaliknya. Singkat kata, pers memiliki posisi tawar yang
tidak bisa diremehkan. Konsepsi Riswandha (1998 : 101) mengatakan bahwa ada
empat pilar pemelihara persatuan bangsa, salah satunya adalah kaum intelektual
atau pers. Pers berfungsi sebagai pemikir dan penguji konsep-konsep yang
diterapkan pada setiap kebijakan.
Pada masa orde baru,
pers bisa dikatakan tidak ada fungsinya untuk warga negara. Pers sangat
terlihat hanya sebagai boneka penguasa. Tidak ada kebebasan berpendapat yang
dijanjikan pemerintah pada awal awal kekuasaan orde baru. Keberadaan pers
diawasi secara ketat oleh pemerintah di bawah naungan departemen penerangan.
Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi hal – hal buruk di dalam pemerintahan
orde baru sampai di telinga masyarakat. Pers tidak bisa melakukan apapun selain
patuh pada aturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Aspirasi masyarakat untuk
pemerintah tidak tersalurkan sama sekali. Hal ini dikarenakan komunikasi
politik yang terjadi hanya top – down. Artinya pers hanya sebagai komunikator
dari pemerintah ke rakyat. Pers tidak dapat melakukan fungsinya sebagai
komunikator dari rakyat ke pemerintah. Selain itu, pemberitaan yang disalurkan
ke masyarakat mengenai pemerintah harus merupakan berita – berita yang
menjunjung tinggi keberhasilan pemerintah. Yang diberitakan hanyalah sesuatu
yang baik. Apabila suatu media nekat menerbitkan pemberitaan – pemberitaan
miring soal pemerintah, bisa di pastikan nasib media tersebut berada di ujung
tanduk.
Berdasarkan teori
politik yang dipaparkan diatas, jelas bahwa pers pada masa orde baru sangat dikendalikan
oleh pemerintah. Kontrol pemerintah terhadap pers tidak dapat diragukan lagi,
begitu juga dengan pengaruhnya. Kebijakan – kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah orde baru sangat tidak mendukung keberadaan pers. Salah satu
contohnya adalah kebijakan SIUPP, yakni Surat Izin untuk Penerbitan Pers, yang
mana sangat tidak pro-pers. Pers mengalami kesulitan saat dituntut untuk
melasanakan fungsi – fungsi yang secara alamiah melekat padanya, khususnya
fungsi mereka bagi masyarakat. Fungsi pers bagi masyarakat adalah menampilkan
informasi yang berdimensi politik lebih banyak dibandingkan dengan ekonomi,
dengan didominasi subyek negara serta kecenderungan pers untuk lebih berat ke
sisi negara harus dilakukan dengan cara lebih memilih realitas psikologis dibanding
dengan realitas sosiologis. Tidak hanya itu, 9 elemen dasar Bill Kovach
mengenai jurnalisme yang seharusnya diamalkan oleh pers tidak terlaksana. 9
elemen dasar tersebut adalah :
- Kewajiban utama jurnalisme adalah pada pencarian kebenaran
- Loyalitas utama jurnalisme adalah pada warga negara
- Esensi utama jurnalisme adalah disiplin verifikasi
- Jurnalis harus menjaga indepedensi dari objek liputannya
- Jurnalis harus membuat dirinya sebagai pemantau independen dari kekuasaan
- Jurnalis harus memberi forum bagi publik untuk saling kritik dan menemukan kompromi
- Jurnalis harus berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan
- Jurnalis harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional
- Jurnalis harus diperbolehkan mendengarkan hati nurani personelnya
Jika sudah
begitu, bisa dikatakan pers telah kehilangan jati dirinya. Contoh kediktatoran
pemerintah terhadap pers adalah peristiwa 21 Juni 1994. Saat itu beberapa media
massa seperti Tempo, deTIK, dan editor dicabut surat izin penerbitannya atau
dengan kata lain dibredel setelah mereka mengeluarkan laporan investigasi
tentang berbagai penyelewengan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat Negara. Akan
tetapi, meskipun pemerintah telah membungkam media sedemikian rupa, tetapi saja
ada media yang pantang menyerah melakukan perlawanan pada pemerintah. Salah
satunya adalah Tempo. Pemerintah orde baru selalu merasa terancam dengan
keberadaan Tempo. Hal tersebut wajar karena sikap pantang menyerah yang
ditanamkan media tersebut kepada wartawan – wartawannya. Tidak dapat dipungkiri
bahwa Tempo menjadi media terpenting pada masa orde baru.
Sesungguhnya
pada masa orde baru terdapat lembaga yang menaungi pers di Indonesia, yaitu
Dewan Pers. Sesuai UU Pers Nomor 40 tahun 1999, dewan pers adalah lembaga
independen yang dibentuk sebagai bagian dari upaya untuk mengembangkan
kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional. Berdasarkan amanat
UU, dewan pers meiliki 7 fungsi :
- Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain, bisa pemerintah dan juga masyarakat
- Melakukan pengkajian untuk pengembangan keidupan pers
- Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik
- Memberikan pertimbangan dan pengupayaan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers
- Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah.
- Memfasilitasi organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi wartawan
- Mendata persahaan pers
Namun sangat
disayangkan bahwa dewan pers masa orde baru tidak melaksanakan fungsinya dengan
efektif. Ironisnya, dewan pers justru tidak melindungi rekan sesama jurnalis.
Hal tersebut terlihat saat peristiwa pembredelan media tahun 1994. Banyak
anggota dewan pers yang tidak meyetujui pemberedelan tersebut, namun dewan pers
dipaksa menyetujui langkah pemerintah tersebut. Tidak ada yang bisa dilakukan
dewan pers selain mematuhi instruksi pemerintah. Menolak sama artinya dengan
melawan pemerintah. Bisa disimpulkan keberadaan dewan pers masa orde baru hanya
sebatas formalitas.
2. Pers Masa Reformasi
Bagaimana dengan kebebasan pers pada masa reformasi? Tidak bisa dipungkiri
bahwa pers pada masa orde baru sangat berbeda dengan pers pada masa reformasi.
Tidak ada kebebasan pers pada masa orde baru. Namun, saat orde baru tumbang, pers
seperti kehilangan kendali. Arus kebebasan dibuka lebar – lebar secara spontan.
Gelombang kebebasan pers tercipta secara besar besaran, bukan perlahan dengan
proses yang seharusnya.
Suatu kebijakan yang monumental karena dianggap sebagai tonggak dimulainya
kebebesan pers di Indonesia yakni dikeluarkannya Permenpen No.
01/per/Menpen/1998, tentang Kententuan – Ketentuan SIUPP. Pada Permenpen ini,
sanksi pencabutan SIUPP maupun pembreidelan bagi pers ditiadakan. Ada
lima peraturan, baik berupa Peraturan Menteri maupun Surat Keputusan Menteri,
yang keseluruhannya menghambat ruang gerak pers, dicabut. Puncaknya adalah
dikeluarkannya Undang- Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Terdapat pasal di
dalam undang-undang ini yang menyatakan pencabutan semua undang- undang pers
yang ada sebelumnya. Sejak saat itu, tidak ada lagi kebijakan pemerintah yang
memberatkan pers. Akibatnya, permintaan untuk izin penerbitan meningkat.
Pers masa reformasi selalu dihubungkan dengan demokrasi. Yang mana
demokrasi berarti kebebasan untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat. Salah
satu indikator demokrasi adalah terciptanya jurnalisme yang independen.
Walaupun pada kenyataannya saat ini, terkadang pers masih dimanfaatkan oleh
pemerintah untuk melanggengkan kekuasaan. Pers masa reformasi bebas menuliskan
apapun kritik mereka terhadap pemerintah. Tidak ada pembungkaman, apalagi
pembredelan. Jika pemerintah tersinggung dengan apa yang disampaikan oleh pers,
jalan untuk melawannya bukan dengan memberedel pers, tetapi dengan memanfaatkan
pers itu sendiri sebagai alat komunikasi yang efektif antara masyarakat dan
pemerintah. Dengan kata lain, pers masa reformasi menempatkan dirinya sebagai
perantara rakyat dan pemerintah supaya tidak terjadi perbedaan persepsi.
Pers masa reformasi sedikit banyak telah menemukan jati dirinya. Pers
menjadi lemabga yang independen. Pada masa reformasi, komunikasi politik yang
terjadsi antara masyarakat dan pemerintah tidak hanya komunikasi top – down,
melainkan juga bottom – up. Pers menjadi sarana masyarakat untuk menyalurkan
aspirasinya, baik berupa tuntutan maupun dukungan. Pers juga menjadi sarana
pemerintah mensosialisasikan kebijakan – kebijakan yang telah diambilnya. Pers
menjadi wadah pemerintah untuk mengetahui apakah kebijakan – kebijakan yang
akan diambil disetujui rakyat atau tidak. Apabila suatu kebijakan telah diambil
dan dilaksanakan, pers dapat mengambil perannya sebagai pengontrol kebijakan.
Intinya, pers masa reformasi senantiasa melaksanakan fungsinya pada setiap
proses sistem politik. Pada masa ini, 9 elemen dasar serta fungsi – fungsi pers
cukup terlaksana.
Namun, kebebasan pers yang tercipta pada masa reformasi bukan berarti tidak
menimbulkan masalah apapun. Kebebasan pers masa reformasi terkadang terlewat
batas. Terdapat ketidakseimbangan antara keinginan masyarakat dengan
kepentingan pers. Pers cenderung menampilkan sesuatu yang berbau komersil dan
hanya memikirkan keuntungan perusahaan. Berita yang disajikan terkadang tidak
objektif. Tidak hanya itu, pers juga terkadang melanggar kode etik nya sendiri.
Norma dan nilai yang ada di masyarakat diabaikan. Dalam pencarian berita pun
pers sering meniadakan kesopan santunan. Pers tidak lagi menghargai privatisasi
sumber berita. Sebagai contoh, pers seharusnya fokus hanya pada masalah –
masalah yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat, seperti kebijakan
pemerintah, akan tetapi pers menambahkannya dengan urusan pribadi sumber
berita. Hal itu sangat melanggar norma.
Kekhawatiran masyarakat terhadap kebebasan pers, sempat muncul dalam aksi
perlawanan dalam bentuk kekerasan fisik. Hal ini antara lain ditandai dengan
penyerangan harian Jawa Pos di Surabaya oleh Banser pendukung Abdurrahman Wahid
(alam Emilianus, 2005: 128).
Intinya, pers menjadi lupa bahwa kebebasan pun masih harus ada batasnya. Di
masa reformasi pers lebih menampilkan diri sebagai pihak yang dekat dengan
kekuasaan dan modal. Dan hal ini harus diantisipasi oleh masyarakat sebagai
pengawas atas perilaku pers di Indonesia.
3. Perbandingan masa reformasi dan masa orde baru
Kategori
|
Pada Masa Orde Baru
|
Pada Masa Reformasi
|
Berlakunya
|
Sejak
1965 - 1998
|
Sejak
tahun 1998 – sekarang
|
Sifat
kebebasan pers
|
Lebih
di kekang dalam menjalankan fungsi pers oleh pemerintah. Karenanya, tidak
mengherankan bila kebebasan pers saat itu lebih tampak sebagai wujud
kebebasan (bebasnya) pemerintah, dibanding bebasnya pengelola media dan
konsumen pers, untuk menentukan corak dan arah isi pers
|
Bebas
dengan diberikan ruang gerak dalam menjalankan fungsi pers.
|
Kelemahan
|
1. kebebasan pers pada masa pemerintahan Presiden Soekarno dan masa
pemerintahan Presiden Soeharto sangat dibatasi oleh kepentingan pemerintah.
Pers dipaksa untuk memuat setiap berita harus tidak boleh bertentangan dengan
pemerintah, kebeasan pers saat itu lebih terbatas untuk memperkuat status quo,
ketimbang guna membangun keseimbangan antarfungsi eksekutif, legislatif,
yudikatif, dan kontrol publik (termasuk pers).
2. Pada rezim ini, maka berkembanglah pers yang otoriter.
contohnya : pada saat erjadinya pembredelan Tempo, Detik, Editor pada 21 Juni 1994, mengisyaratkan ketidakmampuan sistem hukum pers mengembangkan konsep pers yang bebas dan bertanggung jawab secara hukum.
3. Pada masa ini, membatasi pers dalam mengepresikan kesan mereka mengenai
sistem pemerintahan yang di jalankan pemerintah karena adanya SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan
Pers) sesuai dengan Permenpen 01/1984 Pasal 33h. Dengan definisi ”pers yang
bebas dan bertanggung jawab”, SIUPP merupakan lembaga yang menerbitkan pers
dan pembredelan.
|
1. berkembangnya
kebebasan pers juga membawa pengaruh pada masuknya liberalisasi ekonomi dan
budaya ke dunia media massa, yang sering kali mengabaikan unsur pendidikan.
Arus liberalisasi yang menerpa pers, menyebabkan Liberalisasi ekonomi juga
makin mengesankan bahwa semua acara atau pemuatan rubrik di media massa
sangat kental dengan upaya komersialisasi. Sosok idealisme nyaris tidak
tercermin dalam tampilan media massa saat ini. Sebagai dampak dari
komersialisasi yang berlebihan dalam media massa saat ini, eksploitasi
terhadap semua hal yang mampu membangkitkan minat orang untuk menonton atau
membaca pun menjadi sajian sehari-hari.
2. Dengan tidak adanya keterbatasan ruang gerak bagi pers dalam
menyebarkan atau mempublikasikan suatu informasi, isu, kasus dan sebagainya.
Perspun memiliki kewenangan tersendiri yang bebas dalam mempublikasikan
infoormasi, kasus, isu dan sebagainya kepada para khalayak dan kebanyakan
pers tersebut tidak bertanggung jawab.
3. Biasanya dalam membuat
informasi tak jarang melecehkan masalah agama, ras, suku, dan
kebudayaan lain, seharusnya hal ini
berkembang sesuai dengan apa yang diyakini.
|
Kelebihan
|
1. Pada masa orde baru, dengan adanya keterbatasan ruang gerak bagi
pers maka akan adanya tanggung jawab bagi pers media tersebut dalam menyebar
luaskan
2. Pers tidak bisa sembarangan dalam menyebar luaskan informasi
karena adanya batasan dari pemerintah, maka dengan itu pers jarang akan
menyinggung tentang SARA.
|
1. Pers pun bisa mengekspresikan kesan mengenai sistem pemerintahan
yang ada dijalankan.
2. Penyebaran informasi, isu, kaus oleh pers bisa di lakukan secara
bebas. Tanpa ada kekangan *seperi masa orde baru*.
3. Dengan adanya perguliran masa orde baru menjadi era reformadi,
terjadilah perubahan – perubahan dengan di tandai munculnya media-media baru
cetak dan elektronik dengan berbagai kemasan dan segmen. Keberanian pers dalam mengkritik penguasa juga
menjadi ciri baru pers Indonesia.
|
4.
Sebaiknya
yang di aplikasikan oleh pers bagi pengonsumsi dari informasi, isu, kasus yang
di sebarkan
Sungguh ironi, dalam sistem politik yang relatif
terbuka saat ini, pers Indonesia cenderung memperlihatkan performa dan sikap
yang dilematis. Di satu sisi, kebebasan yang diperoleh seiring tumbangnya rezim
Orde Baru membuat media massa Indonesia leluasa mengembangkan isi pemberitaan.
Namun, di sisi lain, kebebasan tersebut juga sering kali tereksploitasi oleh
sebagian industri media untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan
mengabaikan fungsinya sebagai instrumen pendidik masyarakat. Bukan hanya
sekedar celah antara rakyat dengan pemimpin, tetapi pers diharapkan dapat
memberikan pendidikan untuk masyarakat agar dapat membentuk karakter bangsa
yang bermoral. Kebebasan pers dikeluhkan, digugat dan
dikecam banyak pihak karena berubah menjadi ”kebablasan pers”. Hal itu jelas
sekali terlihat pada media-media yang menyajikan berita politik dan hiburan
(seks). Media-media tersebut cenderung mengumbar berita provokatif,
sensasional, ataupun terjebak mengumbar kecabulan.
Kebebasan pers sekarang yang dipimpin presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan
Wakil Presiden Jusuf Kalla, negara dan bangsa kita membutuhkan kebebasan pers
yang bertanggung jawab (free and responsible press). Sebuah perpaduan
ideal antara kebebasan pers dan kesadaran pengelola media massa (insan pers),
khususnya untuk tidak berbuat semena-mena dengan kemampuan, kekuatan serta
kekuasaan media massa (the power of the press). Di bawah Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, kebebasan pers Indonesia
idealnya dibangun di atas landasan kebersamaan kepentingan pengelola media, dan
kepentingan target pelayanannya, tidak peduli apakah mereka itu mewakili
kepentingan negara (pemerintah), atau kepentingan rakyat.
Dalam kerangka kebersamaan kepentingan dimaksud, diharap aktualisasi
kebebasan pers nasional kita, tidak hanya akan memenuhi kepentingan sepihak,
baik kepentingan pengelola (sumber), maupun teratas pada pemenuhan kepentingan
sasaran (publik media).
Pers harus tanggap terhadap situasi publik, karena ketidakberdayaan publik
untuk mengapresiasikan pendapatnya kepada pemimpin pers harus berperan sebagai
fasilitator untuk dapat mengapresiasikan apa yang diinginkan publik terhadap
pemimpinnya dapat terwujud.
Ada hal lain yang harus diperhatikan oleh pers, yaitu
dalam membuat informasi jangan melecehkan masalah agama, ras, suku, dan
kebudayaan lain, biarlah hal ini berkembang sesuai dengan apa yang mereka
yakini.
BAB III
Penutup
3.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang
telah dijelaskan, dapat disimpulkan bahwa kebebasan pers pada masa orde baru
sangat berbeda dengan kebebasan pers pada masa reformasi. Pada masa orde baru
pergerakan pers sangat dibatasi dan hanya sebagai boneka pemerintah untuk
melanggengkan kepentingannya. Sedangakan pada masa reformasi, kebebasan pers
sangat terjamin. Ruang gerak pers menjadi sangat luas. Pers dapat melakukan
fungsi top – down dan bottom – up, walaupun terkadang masih dimanfaatkan
sebagai alat penguasa serta pemilik modal. Kebebasan pers masa reformasi juga
bukan berarti tanpa masalah, banyak masalah yang timbul akibat dari kebebasan
pers itu sendiri.
Daftar Pustaka
http://kampekique.wordpress.com/2011/08/11/perbandingan-kebebasan-pers-pada-masa-orde-baru-dan-masa-reformasi-di-indonesia/#comment-3
http://ivantoebi.wordpress.com/2008/12/19/pers-era-reformasi/
0 comments:
Post a Comment